Kamis, 15 Januari 2009

Refleksi atas Sebuah Scene

Beberapa waktu yang lalu saya sempat terlibat dalam diskusi maupun debat (atau boleh disebut curhat) akan teman2 scene (scene saya) terhadap permasalahan di dalam scene (scene di tempat saya terlibat). Permasalahan yang terjadi saya rasa merupakan suatu pengulangan yang cenderung monoton. Akar permasalahan mungkin sama dengan akar permasalahn scene-scene terdahulu yang sudah pecah, mati, atau boleh dibilang bubar, namun kali ini dikemas secara berbeda dalam tingkat subyeksifitas yang berbeda pula. Pertanyaannya adalah, masih perlukah keberadaan sebuah scene jika akar pokok permasalaham tidak juga diselesaikan? Akar permasalahan yang nantinya juga akan berulang seberapa kalipun scene dibangun kembali.

Lalu apa yang menjadi akar permasalahan pokok dalam scene yang terus menerus berulang tersebut? Jawabannya terletak pada para scenester, terutama yang mendominasi (biasanya disebut senior, tua, penggagas, atau pendiri atau apa lah). Mereka-mereka ini peletak dasar ideology dan pemikiran scene. Nah yang terjadi adalah, ideologi tersebut kadang dibengkokkan dan di twist sehingga sesuai dengan kebutuhan individu ataupun kelompok scenester yang mendominasi tersebut. Kalau kawan-kawan mungkin menyebut ini sebagai proses propaganda dan indoktrinasi terhadap kawan-kawan yang baru atau beberapa lainnya menyebutnya dengan ssebutan ‘senioritas di dalam scene’. Kalau menurut saya, scene bukanlah suatu partai yang butuh kaderisasi, indoktrinasi, ataupun hierarki. Biarlah scene tumbuh dengan pluralitas-pluralitas yang ada. Tak ada penjajahan atau penzoliman suatu ideologi terhadap ideologi laen. Toh suatu scene tidak punya AD ART atau peraturan tertulis yang harus ditaati, Scene seharusnya menjadi kelompok sosial independen yang lepas. Semua ini kembali kepada para scenester senior, apakah mereka mencoba membangun suatu kekuatan politik? Who knows, mungkin itu merupakan hidden agenda karena mereka mahluk sosial yang butuh eksistensi, butuh ketenaran, popularitas, atau pengakuan bahwa merekalah empunya scene tersebut.

Nah permasalahan lainnya yang timbul adalah, para scenester yang lain terlihat ABS (istilah orba untuk asal bapak senang) saja. Terdiam dan tak mau outspoken jika suatu hal terjadi dan tidak sesuai dengan ideologi mereka. Hal ini semakin menciptakan scenester senior yang semakin otoriter dan tak demokratis. Mereka umumya takut akan keberadaan, keamanan posisi mereka di dalam scene dan pastinya takut akan terjadinya pembunuhan karakter oleh scenester senior (seperti yang sering terjadi di scene saya). Takut dicap sok tahu, tukang protes atau tukang ”ngeyel”. But hey, kita hidup di jaman demokrasi, hal-hal seperti itu sudah tidak relevan lagi saat ini.

Last, hal ini mungkin terjadi karena scene tempat saya berada memang terbilang kecil, baik dalam cakupan wilayah maupun capaiannya. Dan para scenester di dalamnya belum terbuka akan apa yang berkembang maupun masih tertutup pola pikirnta terhadap pola pikir baru. Scene seharusnya independen, tidak ada indoktrinasi, dan seharusnya lebih radikal dari kelompok masyarakat umumnya. Sudah bukan waktunya sebuah scene masih memiliki pemikiran dan ideologi yang konservatif.

Minggu, 21 Desember 2008

Death is Inevitable

Death is Inevitable


I have stood in this dying earth for sometimes

I have looked up to those tainted sky for a view while

Yet still I never know why

When everything must come to an end


Should I run to escape death?

Even I know he will find me anyhow

Either cut my throat from ear to ear

Or left me dying of cancer


In this black red dawn I scream

To the One who have made me

As a father lost

As a best friend died


“Why” will always be the question

And will never seems enough

Consumed by the greed of a man

Who never understand why we all shall perish



Jakarta, December 21, 2008

8.58 pm

Kamis, 27 November 2008

Once a hardcore kid, I will always be a hardcore kid

View days ago, via friendster comments, a hometown friend asked me to go home and play music again. I knew that it was just a chit chat thing. But somehow, I was paused on the screen and thought about it for a view while. If you asked me do I miss playing music, I will certainly answer “ A LOT…”. Yes, I miss being in the stage with my buddies (which most of them are my childhood buddies), jumping around like crazy, playing the out of tone guitars (ha2), jump off the stage to the crowd, create mosh pit, smash to each other and laugh about it instead of smashing back, etc. I miss the crowd, the fast drumbeat, the distortion, the screaming vocals, and all ‘hardcore’ things. It’s been a while since my last stage, and I don’t even have time to go to a gig anymore. Damn, I miss those days. Once a hardcore kid, I will always be a hardcore kid. Hardcore has made me to be the man I am now…

Senin, 27 Oktober 2008

Mari Definisikan Kembali Negara Ini

Sejak awal mula berdirinya Negara ini, founding fathers yang membidani lahirnya NKRI telah sepakat untuk membentuk negara sekuler (tidak berdasarkan suatu keyakinan tertentu) yang mengakomodasi kepentingan berbagai macam agama, ras, suku dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Walaupun demikian, negara ini tetap berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan? Namun akhir-akhir ini ada beberapa oknum anti pluralis yang memperjuangkan beberapa ideologi dan peraturan2 (termasuk uang lagi heboh RUU APP) yang berdasarkan sudut pandang satu keyakinan tertentu. Hal ini saya anggap tidak relevan dengan dengan semangat persatuan dan keanekaragaman (ingat jargon Orba “Bhineka Tunggal Ika, Berbeda-beda tapi Tetap Satu Jua”). Mereka mengatasnamakan mayoritas yang kemungkinan juga belum tentu setuju akan hal tersebut. Maka dari itu saya mempertanyakan, apakah oknum2 tersebut tahu sejarah bangsa ini?apakah mereka tau demografi bangsa ini yang heterogen?

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa negara telah terlalu banyak mencampuri ranah privat. Mungkin ada benarnya juga, karena negara seharusnya tidak mengatur akhlak dan moral maupun dosa seseorang. Selama dia tidak melanggar hukum, kenapa musti berpusing-pusing ria mengurusi itu (toh urusan yang notabene lebih besar urgensinya seperti korupsi pun tak juga becus diurusi aparat-aparat negara ini). Tidaklah benar memaksakan suatu pandangan dari sebuah adat/budaya maupun suatu kelompok agama tertentu ke dalam masyarakat kita yang majemuk. Dengan kata lain, Indonesia bukan hanya milik suatu kelompok ras ataupun agama tertentu saja. Kalau dilihat dari sejarah, para pendiri/pemrakarsa serta tokoh2 yang memperjuangkan negara ini bukanlah berasal dari ras atau agama tertentu saja. Jadi negara ini didirikan untuk sebuah masyarakat yang heterogen. Kesimpulannya, pemaksaan suatu ideologi agama ke dalam sistem pemerintahan maupun perundang-undangan di negara ini merupakan pengingkaran terhadap semangat awal terbentuknya negara ini. Mungkin sebagian orang telah sebegitu fanatiknya terhadap suatu agama (kalau boleh saya bilang fasis kanan) sehingga hasilnya mereka memiliki apa yang saya sebut sebagai ’blind faith”. Mungkin ada baiknya juga jika kita semua bisa duduk dalam satu meja dan mendefinisikan kembali negara ini tanpa mulut berbusa ataupun tangan mengepal.

Saya teringat akan sebuah syair dari Homicide (R.I.P) yang berbunyi ”...dengan atau tanpa label agama, fasis tetaplah fasis...”. Namun sayangnya para fasis kanan di negara ini tidak sadar bahwa mereka adalah sekelompok fasis.

Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Seorang agent of chaos, straight edge, hardcore kid, dan conspiracy theory freak.